Tidak lama lagi insha Allah hari
raya kita, hari raya umat muslim sedunia segera datang. Hari raya iedul adha.
Idul adha adalah hari berkurban kita kaum muslimin seperti yang dicontohkan
oleh Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam berabad-abad yang lalu. Sebuah ibadah
besar pasti perlu tata cara dan tuntunan sesuai dengan yang diajarkan
Rosulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Oleh karena itu beberapa
permasalahan pasti akan muncul mengenai hal tersebut, termasuk permasalahan
ini, “bolehkah kita berkurban untuk seseorang yang sudah mati?”
.
.
Dalam hal ini ada dua perkara,
pertama adalah jika kurban tersebut adalah wasiat dari si mayit sebelum
meninggal maka hal ini wajib dilaksanakan oleh ahli warisnya. Karena hal ini
termasuk hak mayit atas hartanya yang harus dilaksanakan sebelum ahli waris
mendapatkan hak waris dari si mayit. Seperti dalam firman Allah “Maka
barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 181). Begitu juga jika kurban tersebut adalah nadzar si mayit, maka hal
ini menjadi wajib dilaksanakan oleh ahli waris karena nadzar tersebut adalah
hutang dari si mayit sebelum meninggal.
Perkara kedua adalah bagaimana jika
kurban tersebut bukan termasuk wasiat ataupun nadzar dari mayit, melainkan
hanya inisiatif dari ahli warisnya supaya pahala kebaikan mengalir kepada
simayit? Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Jumhur ulama madzah hanafi, hanbali, dan maliki membolehkan hal ini, hanya saja
madzhab maliki menghukuminya sebagai makruh. (lihat Mausuu'ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah 5/105-106)
Ibnu Abidin dari
madzhab hanafi berkata,"Seandainya jika ahli waris sang mayit berqurban
untuknya karena perintah sang mayit maka wajib bagi ahli waris untuk
menyedekahkan sembelihan tersebut dan tidak boleh memakan dari sembelihan
tersebut. Adapun jika sang ahli waris bersedekah atas nama sang mayit karena dari
kebaikannya sendiri (bukan perintah sang mayit-pen) maka dia boleh memakan dari
sembelihan tersebut karena dialah pemilik hewan sembelihan, dan pahalanya untuk
sang mayit" (Roddul Muhtaar 9/484, tahqiq : Adil Ahmad Abdul Maujuud,
Daar 'Aaalam al-Kutub)
Imam Ibnu Taimiyah
berkata dari madzhab Hanbali berkata,”Dan berqurban atas nama mayit lebih
afdol dari pada bersedekah atas nama mayit dengan uang senilai harga hewan
qurban" (al-Ikhtiyaaroot al-Fiqhiyah hal 178, tahqiq : Ahmad
al-Kholil, Daar al-'Aashimah, silahkan lihat juga kitab al-Iqnaa' hal 408 dan
Kasyful Qinaa' 3/21)
Adapun
Ulama madzhab Syafi’iyah memiliki dua pendapat dalam perkara ini. Ada yang
melarang dan menganjurkan. Namun jumhur melarang perkara ini. Imam Nawawi Rahimahullah
berkata, "Adapun berkurban atas nama mayit maka Abul Hasan
Al-'Abbaadiy (wafat 495 H, lihat Tobaqoot As-Syaafi'iyah al-Kubro 5/364-365
–pen) membolehkan secara mutlak, karena berkorban atas nama mayit adalah salah
satu bentuk dari bersedekah, dan bersedekah atas nama mayit hukumnya sah dan
bermanfaat bagi sang mayit dan pahalanya sampai kepadanya berdasarkan ijmak
ulama. Dan penulis kitab al-'Uddah demikian juga Al-Bagowiy menyatakan
berkurban atas nama mayit tidak sah, kecuali jika sang mayit –dimasa hidupnya-
pernah mewasiatkan hal itu. Ini adalah pendapat yang diyakini kebenarannya oleh
Ar-Rofi'iy". (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 8/382, tahqiq :
Al-Muthi'iy, cetakan Maktabah Al-Irsyaad Jeddah)
Kemudian
selain pendapat-pendapat di atas ada beberapa dalil para ulama yang membolehkan
dan melarang perkara tersebut:
Diantara dalil ulama-ulama
yang membolehkannya adalah mereka menukil perkataan dari al imam Ibnu
Taimiyah,”Sesungguhnya mayit mendapatkan manfaat dengan sedekah atas namanya
dan juga memerdekakan budak atas namanya, berdasarkan nash dari Sunnah Nabi
shallallahu 'alahi wa sallam dan Ijmak ulama" (Jaami' al-Masaail
5/204). Kemudian dalam perkara berkurban untuk mayit karena ikutan. Seperti
berkurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal karena
mereka juga bagian dari keluarga. hal ini seperti dalam Hadits Rasululloh, “Pada
masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih
seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi
no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Al Irwa’ 4/355 no. 1142). Imam Asy Syaukani berkata,” Qurban
kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut
ada 100 jiwa atau lebih.” (Nailul Awthoor 8:125).
Kemudian diantara dalil
ulama-ulama yang melarang adalah bahwasanya berkurban khusus di niatkan untuk
mayit bukan karena ikutan keluarga, maka hal ini Rosulullah tidak pernah
mencontohkan. Beliau tidak pernah sekalipun berkurban niyatan khusus untuk
orang-orang terdekatnya yang sudah meninggal, seperti paman beliau Hamzah,
istri beliau tercinta Khadijah dan untuk anak-anak beliau. (Lihat penjelasan
Syaikh al-Utsaimin dalam kitabnya Ahkaam al-Udhiyah wa az-Zakaat hal 17-18,
sebagaimana diringkas oleh ustadz Muhammad Abduh Tuasikal di http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/4057-niatan-qurban-untuk-mayit.html)
Wallahua’alam
Oleh: Azhar Nur Rachman
Oleh: Azhar Nur Rachman
No comments:
Post a Comment